Beras Bukan Lagi Komoditas
Walaupun beras
merupakan salah satu bahan pangan yang penting di Indonesia, namun saat ini
beras tidak lagi dianggap sebagai suatu komoditas melainkan suatu branded consumer product. Perubahan
pandangan konsumen ini terjadi karena beras tidak lagi dipandang sama antara
satu jenis atau merek dengan jenis atau merek lainnya.
Padahal,
selama ini salah satu ciri dari barang yang dikategorikan sebagai komoditas jika
bisa disubstitusi secara sempurna. Artinya, bisa digantikan secara sempurna
dimanapun ia berada. Lantaran sekarang hal seperti itu tidak terjadi lagi,
kemudian berimplikasi pada harga yang berbeda satu sama lain, lalu juga
karakteristik atau kualitas jenis yang berbeda satu sama lain.
Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Bayu
Krisnamurthi usai seminar nasional bertema “Perilaku Konsumen Beras: Implikasi
terhadap Kebijakan Beras Nasional” di Balai Kartini, (31/5), Jakarta, mengatakan,
“Dengan melepas atau
berubahnya beras dari komoditas menjadi branded
consumer product maka kita tidak bisa lagi hanya sekadar berpikir
peningkatan produksi. Tapi, kita sudah harus berpikir yang lebih lagi, mulai
peningkatan nilai, pendapatan petani dan seterusnya.”
Dari hasil
studi Perhepi terhadap perilaku konsumen beras dilakukan
di 13 kota di Indonesia, memang
menunjukkan bahwa mengkonsumsi beras atau nasi merupakan hal yang sangat penting
bagi para konsumen di kota-kota tersebut. Tiga belas kota tersebut meliputi
Bandung, Bogor, Jember, Malang, Semarang, Yogyakarta, Solo, Denpasar, Bengkulu,
Jambi, Medan, Padang dan Makassar.
Patut diketahui bahwa ada
beberapa daerah yang lebih menyukai beras lokalnya, sehingga apabila pasokan
beras tersebut kurang, tidak bisa digantikan dengan beras dari daerah lain
karena permintaan konsumen daerah tersebut. Jadi beras tersebut tidak bisa disubstitusi.
Mengenai perilaku konsumen ini, Bayu pun memberikan suatu gambaran. Jika
beras dikatakan sebagai suatu komoditas, maka seharusnya orang dari daerah mana
pun misalnya Semarang, Padang atau Makassar atau daerah lain ketika diberikan
satu jenis beras, maka akan menerima, tetapi pada kenyataannya tidak seperti
itu.
Orang daerah lain misalnya Padang, Jambi dan Bandung justru memilih
beras yang berbeda. Jadi
karena setiap kota memiliki karakteristik beras yang berbeda maka konsumennya
menginginkan karakteristik beras yang berbeda juga.
Picture by Hanny Bie Rizki
|
Dalam
implikasi mikronya saat ini, sendainya terjadi kenaikan harga satu jenis beras
pada suatu daerah, maka tidak bisa kenaikan harga tersebut diatasi dengan
memasok jenis beras yang lain. Lebih lanjut Bayu menjelaskan “Kalau terjadi
kenaikan beras di Padang karena Bare Solok itu kurang, tidak bisa kemudian
diganti dengan beras Pandan Wangi dari Solo misalnya, meskipun di Solo melimpah
jumlahnya.”
Hal ini juga
menjadi penting dalam hal pengendalian inflasi. Ia pun mengungkapkan bahwa
dalam situasi seperti ini maka pengendaliannya tidak bisa lagi dilakukan secara
general, secara makro, jadi harus
spesifik kota per kota karena memiliki karakteristik yang berbeda.
>>Hanny Bie Rizki<<
Comments
Post a Comment