REALISASI ISPO DINILAI LAMBAN, MENGAPA?
Picture by Hanny Bie Rizki |
ISPO (Indonesian
Sustainable Palm Oil) yang dibentuk sejak tahun 2009 ini merupakan suatu
kebijakan yang diambil pemerintah melalui Kementerian Pertanian untuk
memastikan bahwa semua pihak pengusaha kelapa sawit memenuhi standar pertanian
yang diizinkan baik dari aspek keberlanjutan, sosial dan ekonomi. Tujuannya pun
tidak lain dan tidak bukan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia
di pasar dunia serta ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen
Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK) serta memberi
perhatian terhadap masalah lingkungan.
Dasar hukumnya pun jelas, dari yang
semula Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 19/Permentan/OT.140/3/2011
tentang sistem sertifikasi pedoman ISPO hingga diganti menjadi Permentan No.
11/Permentan/OT.140/3/2015 pada 18 maret 2015, ISPO bersifat mandatory atau
wajib sehingga bagi perusahaan yang tidak melakukan sertfikasi ISPO akan
dikenakan sanksi.
Sejak mulai diberlakukannnya Permentan
No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 hingga sekarang, baru 184 perusahaan saja dengan
total sekitar 1,4 juta hektar yang telah memperoleh sertifikat ISPO, padahal
jumlah keseluruhan lahan sawit di Indonesia mencapai sekitar 11 juta hektar. Selain
itu untuk target tahun ini pun diperkirakan hanya sekitar 200 perusahan saja.
Melihat kondisi yang seperti ini, tentu
banyak pihak yang mempertanyakan mengapa hal seperti ini sampai terjadi bahkan menilai
lambannya progress dari ISPO ini. Disamping itu apakah perusahaan sawit
lainnya tidak takut akan kecaman sanksi yang diberikan jika tidak melakukan
sertifikasi ISPO.
Merespon tudingan gerak lamban ISPO ini, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan
Pertanian Kementerian Perekonomian, Ir. Musdhalifah Machmud, MT yang hadir
sebagai pembicara dalam acara “Dialog Interaktif: Penguatan ISPO” yang
diselenggakaran di Hotel Borobudur, Jakarta, awal bulan lalu, mengatakan “Kita evaluasi kenapa sih yang terserifikasi
memang dianggap agak terlambat, karena baru berhasil 184 unit dengan 1,4 juta
hektar padahal luasan kebun kita 11 juta
hektar”.
Mengenai evaluasi ini, lanjut Musdalifah,
para pihak sedang merencanakan agenda untuk mengevaluasi kembali ISPO termasuk
mulai dari kelembagaannya. Setelah itu akan dilihat mana yang memang bisa
dipercepat dan mana yang memang memerlukan proses. Kendati demikian, ia pun
juga berharap semua hal ini bisa dipercepat.
Dalam dialog interaktif tersebut juga terungkap
bahwa terdapat beberapa faktor yang yang menjadi kendala lambatnya progress dari ISPO ini. Pertama
menyangkut masalah Sumber Daya Manusia (SDM). “Salah satu kendalanya ada di
SDM, bagaimana kita meningkatkan SDM untuk mendukung percepatan audit ISPO”, ungkap
Direktur Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Direktorat Jenderal
Perkebunan, Dedi Junaidi yang juga hadir sebagai pembicara. Ia mengusulkan
untuk menambah para auditor ISPO yang akan bekerja didalam lembaga-lembaga
sertifikasi ISPO karena menurutnya sampai saat ini total jumlah keseluruhan baru
sekitar sembilan ratusan dan ini dinilai masih belum mencukupi.
Kedua mengenai kelembagaan dari lembaga
sertifikasi. Perihal skema sertifikasi, Kepala Sekretariat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), Herdrajat Natawidjaja mengungkapkan
bahwa selama ini dalam proses pemenuhan syarat sertifikasi mengenai kelengkapan
dokumen dan lain sebagainya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Lebih lanjut ia pun menjelaskan mengapa
proses sertifikasi tersebut bisa menjadi lamban. “Dari sisi lembaga
sertifikasinya begitu kita perbaiki, masih butuh lama, balik lagi, karena semua
yang diverifikasi oleh sekretariat itu ada kekurangan itu dibalikan, itu butuh
lama itu, bisa di lembaga sertifikasi bisa di perusahaan karena dia harus
menyertakan dokumen, jadi banyak hal-hal yang menyebabkan keterlambatan ini”. Ia
pun berharap melalui Focus Group Discussion (FGD) ini dapat dicari solusi
untuk memperbaiki masalah semua ini karena banyak faktor yang terlibat baik
dari dari sisi pemerintah, perusahaan, dan dari lembaga swadayanya.
Ketiga mengenai biaya. Perlu diketahui
sebelumnya, untuk mendapatkan sertifikat ISPO maka suatu perusahaan harus
mengeluarkan biaya dengan jumlah tertentu sesuai dengan tarif yang dipasang
dari masing-masing lembaga sertfikasi. Polemik biaya ini pun memang santer
terdengar. Namun, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono mengatakan, “Konsekuensi dari
sertifikasi ini memang biaya, tetapi ya kita mesti harus karena kalau tidak ya
tidak akan maju-maju”.
ISPO merupakan salah satu instrument
yang harus dipakai untuk kepentingan global, oleh sebab itu menurutnya mau
tidak mau harus sustainability dalam
konteks global karena Indonesia adalah pemain utama sawit yakni 70% dari pangsa
pasar global. Sementara itu, “Jangan berharap perusahaan sudah tersertifikasi
terus tidak diserang”, tegas Joko. Sertifikasi inilah yang dijadikan paling
tidak satu senjata atau satu pegangan yang bisa dipakai untuk negosiasi dan
dalam menghadapi black campaign yang
terus menyerang industri kelapa sawit Indonesia.
PENTINGNYA PENGUATAN
ISPO
Seberapa pentingkah penguatan ISPO ini,
Musdalifah pun mengungkapkan bahwa salah satu alasan dilakukannya penguatan
ISPO ini karena jika dunia internasional masih meragukan ISPO, pihaknya juga
berencana akan mengajak negara-negara konsumen tersebut dengan mengkoordinasikan
standar ISPO untuk saling share guna
mengetahui apa yang mereka butuhkan untuk meyakinkan bahwa pengelolaan
perkebunan Indonesia telah dikelola dengan baik dan sustainable.
Jadi, saat ini penguatan ISPO dinilai
sangat diperlukan untuk menyikapi berbagai kendala dan menghadapi masalah serta
berbagai isu yang terus menerpa sawit Indonesia baik dari berbagai pihak seperti
lembaga swadaya masayakat (LSM) dalam negeri maupun luar negeri.
USULAN PENINGKATAN STATUS JADI PERPRES
Dipandang sebagai salah satu komoditas
strategis, maka salah satu upaya memperkuat industri minyak sawit Indonesia
serta memperkuat perkembangan ekspor nasional dan wilayah selanjutnya juga agar
dapat diterima semua pihak maka salah satu tindakan penguatan ISPO yang diusulkan
yakni peningkatan status ISPO dari Peraturan Menteri (Permentan) menjadi
Peraturan Presiden (Perpres).
Ketua Komisi ISPO, Gamal Nasir dalam
sambutannya pada acara yang sama memaparkan,
“Berdasarkan masukan dari seminar dan FGD tersebut, Kementerian
Koodinator Bidang Perekonomian melakukan koordinasi dengan Kementerian
Pertanian dan mengusulkan kepada Bapak Presiden Republik Indonesia agar ISPO
statusnya ditingkatkan dari Peraturan Menteri menjadi Peraturan Presiden”.
35
PERUSAHAAN TERIMA SERTIFIKAT ISPO
Picture by Hanny Bie Rizki |
Acara serah terima sertifikat ISPO yang laksanakan
setelah usainya dialog interaktif yang kurang lebih berlangsung selama 1 jam ini
dihadiri oleh 100 orang yang pejabat pemerintah terkait industri sawit, GAPKI, Dewan
Minyak Sawit Indonesia (DMSI), asosiasi petani kelapa sawit (APKASINDO), Badan
Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), anggota asosiasi lembaga
sertifikasi, lembaga komisi dan tim penilai ISPO, lembaga konsultan ISPO,
lembaga pelatihan ISPO dan perusahaan kelapa sawit serta undangan lainnya.
Penyerahan
sertifikat ISPO secara simbolis diberikan oleh Darmin Nasution selaku Menteri
Perekonomian, yang juga sebelumnya telah mengucapkan selamat kepada
perusahaan-perusahaan penerima sertifikat ISPO sembari mengakhiri sambutannya. Selanjutnya
sertifikat diberikan langsung oleh lembaga sertifikasi kepada perwakilan dari
masing-masing 35 perusahaan penerima sertifikat ISPO. Sampai saat ini total
perusahaan penerima sertifikat ISPO telah mencapai 184 perusahaan.
Picture by Hanny Bie Rizki |
Comments
Post a Comment